Jakarta (BERITAJA.COM) - Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra menjelaskan argumen sistem proporsional terbuka bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) NRI Tahun 1945.
"Karena melemahkan, mereduksi kegunaan partai politik, melemahkan kapabilitas pemilih dan menurunkan kualitas pemilihan pemilihan umum," kata Yusril Ihza Mahendra dalam sidang lanjutan perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 dengan agenda mendengarkan keterangan pihak mengenai nan digelar Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Rabu.
Pasal 168 Ayat (2), Pasal 342 Ayat (2), Pasal 353 Ayat (1) huruf B, Pasal 386 Ayat (2) huruf B, Pasal 420 Ayat (2), Pasal 353 Ayat (1) huruf B, Pasal 386 Ayat (2) huruf B, Pasal 420 huruf C dan D, Pasal 422, Pasal 424 Ayat (2), Pasal 426 Ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum nan mengatur soal sistem proporsional terbuka, secara nyata dinilai Yusril bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Alasannya lantaran menghalangi pemenuhan jaminan-jaminan konstitusional mengenai kegunaan partai politik, melemahkan kapabilitas pemilih, dan melemahkan kualitas pemilihan umum.
Berita lain dengan Judul: BPHN: Evaluasi sistem pemilu lazim untuk perbaiki kekurangan
Di hadapan majelis pengadil nan diketuai Anwar Usman, dia mengatakan merujuk pada Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI 1945, menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Penegasan kedaulatan di tangan rakyat memastikan bahwa Indonesia murni negara kerakyatan nan disusun dan diisi serta dijalankan oleh warganya.
"Indonesia tidak dijalankan oleh sekelompok orang tertentu dan tidak pula segolongan dinasti nan hanya mewariskan kekuasaan kepada garis keturunannya secara turun temurun," kata Yusril menegaskan.
Berita lain dengan Judul: Wakil Ketua MPR nilai sistem proporsional tertutup batasi kewenangan rakyat
Meskipun kedaulatan berada di tangan rakyat, luasnya wilayah Indonesia serta kompleksnya urusan pemerintahan menjadikannya tidak mungkin bagi 270 juta rakyat Indonesia menjalankan roda pemerintahannya sendiri secara langsung.
"Artinya, mau tidak mau kudu dijalankan oleh sebagian orang saja nan dipilih lantaran bisa dan berkompeten menjalankan tugas tersebut. Atas dasar itulah diterapkan sistem perwakilan," jelasnya.
Yusril melanjutkan kedaulatan di tangan rakyat dilaksanakan menurut UUD NRI 1945. Makna dilaksanakan tersebut dijelaskan Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 nan dilakukan dengan satu sistem nan disebut dengan pemilihan umum.
"Sekitar 270 juta lebih rakyat diberikan kesempatan memilih langsung wakil-wakilnya," tambahnya.
Berita lain dengan Judul: Ahli hukum: Konsistensi pemilu proporsional terbuka kudu dijaga
Dalam ketentuan Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 disebutkan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan setara setiap lima tahun sekali. Kemudian pada Ayat (2) disebutkan mengenai kedudukan nan bakal dipilih oleh konstituen.
Sementara, pada Pasal 22E Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan nan ikut kontestasi dalam pemilu personil DPR dan DPRD adalah partai politik. Begitu juga dengan pemilihan presiden dan wakil presiden.
Ketentuan Pasal 6A Ayat (2) menegaskan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan partai politik alias campuran partai politik peserta pemilihan umum sebelum penyelenggaraan pemilu.
Dapat diambil kesimpulan, lanjut dia, urusan penyelenggaraan kedaulatan rakyat, UUD NRI Tahun 1945 menempatkan partai politik dalam posisi nan dominan.
"Partai politiklah nan berkontestasi, bukan rakyat nan berkontestasi secara langsung," jelasnya.
Yusril menambahkan tanpa adanya kepesertaan partai politik dalam pemilu maka tidak pernah bakal ada penyaluran kedaulatan. Dengan kata lain, ketiadaan partai politik dalam konstestasi pemilu bakal meniadakan negara kerakyatan itu sendiri.
COPYRIGHT © BERITAJA.COM 2023