"Sudah semestinya LHKPN segera diperbaiki sehingga tidak ada lagi kasus penggunaan nama orang lain alias penyamaran aset. Dalam perihal ini, para pemangku kepentingan kudu juga bersinergi, misalnya saja dengan kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KP
Surabaya (BERITAJA.COM) - Pakar Kebijakan Publik Universitas Airlangga Drs. Gitadi Tegas Supramudyo, M.Si., menyebut dugaan kepemilikan kekayaan berbobot dahsyat oleh eks pegawai Ditjen Pajak Republik Indonesia, Rafael Alun, menjadi momentum nan tepat bagi pemerintah untuk melakukan reformasi.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Unair di Surabaya, Senin mengatakan bahwa munculnya kasus Rafael merupakan momentum nan tepat untuk melakukan reformasi dan redesain kebijakan, khususnya mengenai Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
"Sudah semestinya LHKPN segera diperbaiki sehingga tidak ada lagi kasus penggunaan nama orang lain alias penyamaran aset. Dalam perihal ini, para pemangku kepentingan kudu juga bersinergi, misalnya saja dengan kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maupun kejaksaan untuk menelusuri aset dan kekayaan terduga," ujarnya.
Selain itu, momentum ini juga sangat tepat untuk melakukan memeratakan keadilan bagi pekerjaan lain sesuai dengan kontribusinya. Perlu diketahui bahwa setiap lembaga mempunyai tugas dan tanggung jawab masing-masing. Namun demikian, tetap terjadi ketimpangan khususnya dalam perihal anggaran dan tunjangan nan diterima.
"Jadi, menurut saya ini momentum krusial untuk melakukan redesain dan reformasi, termasuk memeratakan keadilan bagi pekerjaan lain nan juga mempunyai kontribusi masing-masing, terutama di bagian pendidikan nan paling kentara kesenjangannya," ujarnya.
Ia menilai, kasus pejabat negara dengan kekayaan kekayaan tak wajar seumpama kejadian gunung es. Artinya, kepemilikan kekayaan dengan nilai tak wajar di kalangan pejabat negara merupakan perihal nan umum di Indonesia. Hanya saja, mereka nan terlibat bisa menutupinya dengan melakukan beragam rekayasa.
Mencuatnya kasus Rafael, kata dia, juga berkapak pada menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah khususnya kementerian finansial dan jajarannya. Sehingga, perihal tersebut juga dinilai bakal mempengaruhi pendapatan pajak negara.
"Logikanya, ketika public distrust meningkat kemudian terjadi penurunan keikhlasan dan kemauan untuk bayar pajak, tentu saja bakal berpengaruh," kata Gitadi.
Secara teori, tambahnya, pengaruh public distrust terhadap pendapatan pajak negara tidak bakal terjadi secara berkepanjangan. Kendati demikian, Gitadi mengingatkan pemerintah untuk melakukan upaya-upaya maksimal guna memperbaiki tingkat kepercayaan publik terhadap instansinya.
"Jajaran pemerintah juga kudu melakukan upaya-upaya maksimal untuk menambal akibat negatif terhadap masalah di lembaga tersebut. itu bisa menjadi berkepanjangan jika tidak ada upaya konkret dari negara," ucapnya.
Willi Irawan
COPYRIGHT © BERITAJA.COM 2023