Pakar Komunikasi: Tantangan Pers Ke Depan Makin Berat - Beritaja
Purwokerto (BERITAJA) - Pakar komunikasi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof. Mite Setiansah mengatakan bahwa tantangan pers ke depan makin berat, terutama dalam menjaga independensi wartawan maupun perkembangan komunikasi dan info dengan media sosial.
"Terkait dengan independensi, tentunya tantangan bakal makin besar lantaran 'kan memang tetap saja pers mesti berada di dalam posisi yang independen, netral, dan tentunya jika dari dulu 'kan kita berambisi pers itu betul-betul menjadi pilar keempat yang mampumengawasi jalannya pemerintahan," kata Prof. Mite Setiansah di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis.
Jika memandang situasi sekarang, kata dia, perihal itu juga bakal menjadi tantangan yang baru bagi pers Indonesia dengan kepemimpinan Presiden RI Prabowo Subianto beserta seluruh menterinya lantaran dalam suasana transisi, banyak perihal yang mesti dilakukan oleh pers dengan berhati-hati dalam mengambil posisi tanpa mengurangi kekritisan dan kemampuan.
Meskipun tetap mempertimbangkan banyak hal, dia mengatakan bahwa pers tetap tidak mampumeninggalkan kegunaan sebagai pilar keempat di dalam mengawasi gimana jalannya pemerintahan.
"Jadi, bagaimanapun pers itu tetap menjadi angan kita, jagoan masyarakat, untuk gimana kita mampumembuat pers itu untuk tetap mampumengawal beragam kebijakan, program yang dilakukan oleh Pemerintah betul-betul untuk kesejahteraan masyarakat," katanya.
Terkait dengan perkembangan komunikasi dan info dengan media sosial, menurut dia, jika pers tetap dimaknai sebagai jurnalistik yang konvensional seperti halnya era dulu berupa media cetak alias media massa, sudah pasti karakteristiknya berbeda.
Dalam perihal ini, media massa merupakan lembaga pers dengan karakter yang sangat ketat sehingga tidak semua orang mampumendirikan alias mengakibatkan media maupun konten.
"Kalau pers tetap kita pahami seperti itu, bakal kesulitan menghadapi situasi dengan perkembangan media sosial sekarang, setiap orang mampumenjadi kreator, apalagi mampumenjadi owner (pemilik, red.) dari media," sebagaimana disebutkan menjelaskan.
Baca juga: Perlu modifikasi norma pers demi menjawab tantangan digitalisasi
Baca juga: Artificial Intelligence dan tantangan jurnalistik masa kini
Ketika pers dimaknai sebagai media massa seperti era dahulu, kata Prof. Mite, hanya orang-orang tertentu yang mampumemiliki akses. Namun, saat sekarang, semua orang punya kesempatan untuk mengakibatkan konten, menjadi kreator, apalagi menjadi pemilik media.
Oleh lantaran itu, kata dia, pers mau alias tidak mau juga perlu memperluas lingkup, karakteristik, dan melakukan metamorfosis.
"Di dalam media, kita juga mengenal ada mediamorfosis, gimana media itu juga mesti berubah lantaran 'kan sebagaimana disebutkan memang yang kekal justru adalah perubahan itu sendiri. Kalau mau terus eksis, ya mesti berubah," katanya.
Menurut dia, perubahan tersebut dapat dilakukan dengan mempelajari bahasa maupun karakter media sosial agar tulisan-tulisan alias konten yang dibuat tetap mampumenjangkau publik sebanyak-banyaknya.
Dengan demikian, tulisan-tulisan alias konten yang disajikan oleh pers tetap menarik dan tidak menyerahdengan kehadiran media sosial.
"Di satu sisi, gimana menyikapi kultur user, pengguna media, yang maunya serbacepat, instan. Kadang-kadang ketika belum jelas informasinya, beredar banyak buletin hoaks," katanya.
Akan tetapi, kata dia, perihal itu lantas dimaknai sebagai sebuah kebenaran lantaran mereka hanya algoritma media sosial alias digital sehingga akhirnya hanya memberikan info yang sesuai dengan kepercayaan masing-masing pengakses media sosial.
Oleh lantaran itu, pers tentu juga mesti memahami adanya kultur dan karakter dari pengguna media sosial bahwa algoritma sudah mengarahankan mereka pada informasi-informasi yang sesuai dengan minat alias seleranya.
"Itu juga menjadi suatu perihal yang perlu disikapi oleh pers, gimana kemudian jangkauan kewenangan, misalnya dari Dewan Pers, dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) itu mampumengantisipasi karakter-karakter alias kultur baru yang ada di tengah masyarakat mengenai dengan media sosial ataupun media digital yang ada," katanya.
Menurut dia, setiap media yang datang pasti bakal membentuk kulturnya sendiri sehingga pers mesti menyesuaikan ke situ dan tidak seolah-olah hidup dalam bumi yang berbeda dengan media sosial.
Terkait dengan Hari Pers Nasional yang diperingati setiap 9 Februari, dia mengatakan banyak seiring dengan perkembangan media itu sendiri, pers pun perlu melakukan metamorfosis agar mampumengikutinya.
"Hal itu agar fungsi-fungsi idealisme dari pers mamputerus dijaga sekaligus menyesuaikan diri, beradaptasi dengan perkembangan media dan penggunanya sekarang," kata Prof. Mite.
Editor: Dedy
Copyright © BERITAJA 2025
anda berada diakhir artikel berita dengan judul: