Trending

Membenahi Langkah Atasi Kemiskinan Perkotaan - Beritaja

Sedang Trending 2 minggu yang lalu

Jakarta (BERITAJA) - Badan Pusat Statistik (BPS) pada 15 Januari 2025 merilis nomor kemiskinan September 2024. Persentase masyarakat miskin pada periode tersebut tercatat sebesar 8,57 persen.

Angka ini merupakan yang terendah sepanjang sejpetunjuk dan pertama kalinya menyentuh kisaran 8 persen. Tidak hanya itu, kemiskinan di wilayah perkotaan juga mengalami penurunan yang signifikan.

Di tengah rumor ketidakpastian global, capaian ini menjadi sinyal positif dan memberikan optimisme atas pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19.

Selama ini, laju penurunan nomor kemiskinan di wilayah perkotaan nyaris selalu lebih lambat dibanding wilayah perdesaan. Namun, info terbaru menunjukkan tren yang berbeda.

Pada September 2024, penurunan kemiskinan di wilayah perkotaan mencapai 0,43 persen poin ialah dari 7,09 persen pada Maret 2024 menjadi 6,66 persen. Besarnya penurunan kemiskinan perkotaan tersebut jauh melampaui rata-rata penurunan kemiskinan perkotaan selama periode September 2021-Maret 2024 yang hanya sebesar 0,16 persen poin.

Indikator kemiskinan lainnya, seperti indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keppetunjukan kemiskinan di wilayah perkotaan juga mencapai level terendahnya selama dua dasawarsa terakhir. Pada September 2024, indeks kedalaman kemiskinan di perkotaan tercatat sebesar 0,981, sementara indeks keppetunjukan kemiskinan tercatat sebesar 0,215.

Indeks kedalaman kemiskinan ini merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing masyarakat miskin terhadap Garis Kemiskinan, sedangkan Indeks keppetunjukan kemiskinan menggambarkan penyebaran pengeluaran di antara masyarakat miskin. Semakin rendah nilai kedua Indeks ini, maka semakin bagus.

Meski demikian, capaian impresif ini belum sepenuhnya mengembalikan kondisi ke tingkat pra-pandemi. Pada September 2019, sebelum pandemi COVID-19 melanda, persentase masyarakat miskin di perkotaan berada pada level 6,56 persen, alias sekitar 0,1 persen poin lebih rendah dibandingkan kondisi September 2024. Hal ini menunjukkan bahwa pemulihan tetap belum sepenuhnya tuntas.

Ketika membahas kemiskinan perkotaan, kejadian urbanisasi tidak dapat diabaikan. Urbanisasi telah menyebabkan lonjakan populasi di wilayah perkotaan. Menurut info BPS, dalam sepuluh tahun terakhir, proporsi masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan meningkat tajam alias sekitar 1,2 kali lipat, ialah dari 50,1 persen pada 2014 menjadi 58,8 persen pada 2024.

Pesatnya arus urbanisasi sebenarnya dapat memberikan kesempatan bagus untuk meningkatkan perekonomian perkotaan. Sayangnya, akomodasi yang ada di perkotaan acapkali belum siap menampung masyarakat desa yang merantau ke kota tersebut.

Ketersediaan lapangan kerja misalnya, jangankan para perantau, masyarakat yang sudah lama dan menetap di perkotaan saja terkadang sangat susah mendapat pekerjaan. Belum lagi, tingginya biaya hidup di kota yang berbeda jauh dari biaya hidup di desa, pastinya memperppetunjuk kondisi yang ada.

Daerah perkotaan acapkali dipandang sebagai pusat ekonomi yang maju dengan beragam kesempatan kerja yang tersedia. Namun, biaya hidup di perkotaan yang condong lebih tinggi kerap kali diabaikan.

Untuk memenuhi kebutuhan dasar di perkotaan, biaya yang diperlukan lebih besar dibandingkan di wilayah perdesaan. Hal ini tercermin dari besarnya garis kemiskinan perkotaan yang nominalnya lebih tinggi dibandingkan dengan garis kemiskinan perdesaan.

Berdasarkan info Susenas September 2024, secara nasional garis kemiskinan perkotaan tercatat sebesar Rp615.763 per kapita per bulan, sementara di wilayah perdesaan sebesar Rp566.655 per kapita per bulan.

Dengan tekanan biaya hidup yang lebih tinggi dan sulitnya mendapat pekerjaan yang layak, pada akhirnya tidak sedikit dari para perantau tersebut memilih bekerja di sektor informal, terpaksa tinggal di pemukiman kumuh, dan jatuh ke lingkaran kemiskinan.

Dari sinilah, diperlukan pertimbangan kebijakan urbanisasi, terutama mengenai kesiapan para perantau dan kesiapan kota itu sendiri. Hal ini agar para perantaumampu beradaptasi dengan kehidupan perkotaan, dan justru tidak menambah persoalan sosial ekonomi di perkotaan.

Selain tantangan dari urbanisasi, semakin tingginya biaya hidup di perkotaan yang tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan para masyarakat miskin juga menjadi tantangan besar. Apalagi, berasas Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2024, sebanyak 55,09 persen kepala rumah tangga miskin di perkotaan hanya berilmu SD alias sederajat ke bawah. Hal ini membikin mereka juga hanyamampu terserap pada pekerjaan padat karya alias upaya informal, yang pendapatannya tidak terlalu tinggi.

Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2024 juga menunjukkan bahwa rata-rata bayaran pekerja dengan pendidikan tertinggi SD ke bawah tercatat hanya sebesar Rp2.080.684 per bulan.

Besaran bayaran ini merupakan rata-rata bayaran terendah secara nasional jika dibandingkan dengan golongan pekerja dengan pendidikan lainnya. Dengan bayaran yang didapat tersebut, untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup di perkotaan dapat dibilang jauh dari cukup.

Sebagai ilustrasi, kebutuhan dasar minimal rumah tangga di perkotaan dapat dihitung dengan mengalikan garis kemiskinan perkotaan yang sebesar Rp615.763 per kapita per bulan, dengan rata-rata jumlah personil rumah tangga miskin yang sebanyak 4,71 orang per rumah tangga pada September 2024.

Dengan langkah ini, diperoleh nomor sekitar Rp2,8 juta per rumah tangga per bulan. Artinya, dengan pendapatan sebesar Rp2.080.684, rumah tangga tersebut tetap menghadapi kekurangan nyaris satu juta rupiah untuk mencukupi kebutuhan dasarnya sekaligus keluar dari jerat kemiskinan di perkotaan.

Selain tantangan domestik, kemiskinan perkotaan juga dipengaruhi oleh ancaman eksternal seperti krisis ekonomi dunia dan perubahan iklim. Fluktuasi nilai bahan pokok akibat ketidakpastian global, secara langsung dapat memengaruhi daya beli rumah tangga miskin.

Sementara itu, perubahan suasana meningkatkan kerentanan terhadap musibah alam, terutama di area kumuh. Banjir yang semakin sering terjadi tidak hanya merusak infrastruktur, tetapi juga memengaruhi kesehatan dan produktivitas masyarakat miskin.

Dibutuhkan program percepatan pengentasan kemiskinan perkotaan yang inklusif dan berkepanjangan untuk menghadapi tantangan ini. Program yang dibuat juga mesti dirancang dengan memperhatikan kondisi spesifik perkotaan, seperti tingginya biaya hidup dan kerentanan terhadap perubahan ekonomi.

Salah satu langkah krusial yang dapat dilakukan adalah memperluas jangkauan program support sosial yang berbasis info terpadu yang akurat, sehingga golongan paling rentan dapat menerima support yang sesuai.

Selain support sosial, program pengentasan kemiskinan juga mesti mencakup pemberdayaan masyarakat, yang dapat dilakukan melalui training keahlian kerja yang relevan dengan kebutuhan pasar. Misalnya, training berbasis teknologi alias skill di sektor jasa yang berkembang di wilayah perkotaan. Langkah ini bakal membantu masyarakat miskin memperoleh pekerjaan dengan pendapatan yang lebih layak.

Selanjutnya, untuk pengentasan kemiskinan jangka panjang, peningkatan akses terhadap pendidikan dan kesehatan juga mesti menjadi konsentrasi utama. Pemerintah perlu memastikan bahwa anak-anak dari family miskin tidak hanyamampu bersekolah, tetapi juga mendapatkan kualitas pendidikan yang baik.

Di bagian kesehatan, penguatan program agunan kesehatan untuk golongan miskin mesti dilakukan agar mereka dapat mengakses jasa kesehatan tanpa beban biaya yang berat.

Peran sektor swasta juga tidak kalah penting. Dengan menciptakan lapangan kerja yang inklusif dan ramah terhadap golongan rentan, sektor swasta dapat membantu meringankan beban pemerintah dalam mengatasi kemiskinan perkotaan.

Kemitraan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil sangat diperlukan untuk memastikan keberlanjutan program-program yang telah dirancang.

Kemiskinan perkotaan tidak dapat diatasi dengan langkah-langkah parsial alias sementara. Dibutuhkan sinergi kebijakan yang berkepanjangan dan berorientasi pada pengurangan ketimpangan sosial.

Dengan komitmen yang kuat dari semua pihak, diharapkan nomor kemiskinan perkotaan dapat terus ditekan hingga mencapai tingkat yang betul-betul mencerminkan pemulihan pasca pandemi, serta memberikan angan bagi jutaan penduduk kota untuk keluar dari jerat kemiskinan.

*) Nuri Taufiq, Lili Retnosari adalah Statistisi di Badan Pusat Statistik (BPS)

Copyright © BERITAJA 2025



Atribusi: AntaraNews.com




Silakan baca konten menarik lainnya dari Beritaja.com di Google News dan Whatsapp Channel!