Ketika Para Tokoh Bicara Tantangan Di Balik Pertumbuhan Ekonomi 2025 - Beritaja
Jakarta (BERITAJA) - Di tengah suasana yang hangat dan penuh diskusi, pada Rabu, 5 Februari 2025, sejumlah tokoh finansial mikro Indonesia berkumpul di sebuah tempat di Jalan Darmangsa, Jakarta Selatan, untuk membahas kondisi perekonomian tanah air.
Pertemuan yang dihadiri oleh Burhanuddin Abdullah (Pembina IMFEA-ADEKMI dan Mantan Rektor IKOPIN), Roberto AKyuwen (Kepala OJK DKI), Hendranata (Ekonom BRI), Ahmad (Ketua Umum IMFEA/ADEKMI), dan Bagus Aryo (Sekjen IMFEA-Direktur LKMS KNEKS) ini mengupas tuntas beragam rumor ekonomi yang sedang hangat diperbincangkan.
Pembahasan berkutat di seputar pertumbuhan ekonomi yang mencakup nomor versus realitanya di lapangan.
Semua memandang bahwa meski angka-angka statistik menunjukkan tren positif dengan prediksi pertumbuhan ekonomi mencapai 5,2 persen pada tahun 2025, para tokoh sepakat bahwa tetap ada "cerita di kembali angka" yang perlu diperhatikan.
Burhanuddin Abdullah membuka obrolan dengan pertanyaan kritis, "Mengapa inflasi kita turun, namun daya beli masyarakat tidak meningkat?"
Jawaban atas pertanyaan ini rupanya cukup kompleks. Para mahir beranggapan bahwa penurunan inflasi yang terjadi bukan semata-mata lantaran peningkatan produktivitas dalam negeri, melainkan lebih disebabkan oleh kebijakan moneter dan fiskal pemerintah.
"Sebenarnya, penurunan inflasi terjadi lantaran pengendalian kesiapan peralatan yang sebagian besar berasal dari impor," jelas Hendranata.
Diskusi kemudian beranjak ke topik daya beli masyarakat. Roberto AKyuwen menambahkan, "Daya beli sebenarnya sudah mengalami penurunan sejak pandemi COVID-19. Namun, pemerintah memberikan subsidi dan stimulus ekonomi yang besar, yang untuk sementara menutupi penurunan ini."
Ahmad melengkapi, "Ketika stimulus dan subsidi mulai dikurangi, daya beli masyarakat pun ikut menurun. Ini lantaran daya beli selama masa pandemi lebih banyak berasal dari subsidi, bukan dari peningkatan produktivitas masyarakat."
Salah satu kejadian menarik yang dibahas adalah lonjakan jumlah Usaha Mikro Kecil (UMK) pascapandemi.
Bagus Aryo menjelaskan, "Pasca-COVID-19, jumlah UMK meningkat lantaran banyak pekerja umum yang beranjak pekerjaan menjadi pengusaha mikro dan kecil. Namun, banyak dari mereka yang kandas beralih bentuk menjadi upaya yang berkelanjutan."
Indikasi dari kejadian ini, menurut para ahli, terlihat dari penurunan tajam rasio pajak (tax ratio). "Ini menunjukkan bahwa meskipun jumlah UMK meningkat, kontribusi mereka terhadap perekonomian belum optimal," kata Burhanuddin Abdullah.
Topik selanjutnya yang menjadi sorotan adalah efektivitas program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Selama ini, KUR dianggap sebagai jagoan pemerintah untuk mendorong UMKM.
Namun, Hendranata mengatakan kebenaran mengejutkan, "Kebijakan KUR ke depan sebenarnya sudah tidak efektif lagi. Banyak penerima KUR rupanya adalah pelaku upaya lama yang telah menikmati angsuran komersial dari bank, sedangkan pendatang baru jumlahnya sangat sedikit."
Hal ini memicu obrolan tentang perlunya pertimbangan dan reformulasi program KUR agar lebih tepat sasaran, terutama untuk membantu UMK baru yang betul-betul membutuhkan.
Tantangan dan Solusi
Menghadapi beragam tantangan ini, para tokoh sepakat bahwa diperlukan langkah-langkah strategis dari beragam pihak.
Untuk masyarakat, Ahmad menekankan pentingnya peningkatan keahlian dan produktivitas.
“Masyarakat perlu beradaptasi dengan perubahan struktur ekonomi. Selain itu, pengelolaan finansial yang bijak, termasuk memprioritaskan tabungan dan investasi jangka panjang, sangat penting," ujarnya.
Bagi lembaga keuangan, Roberto AKyuwen menyarankan pengembangan produk finansial yang lebih inklusif dan sesuai kebutuhan UMK. "Peningkatan literasi finansial nasabah, terutama pelaku UMK baru, juga mesti menjadi prioritas," tambahnya.
Sementara itu, dari sisi regulator, Burhanuddin Abdullah menekankan perlunya pertimbangan dan reformulasi program KUR. "Kita perlu mendorong transformasi UMK dengan program pendampingan dan training yang terstruktur," jelasnya.
Bagus Aryo menambahkan pentingnya koordinasi kebijakan moneter dan fiskal yang lebih baik untuk menjaga stabilitas ekonomi makro.
Meski menghadapi beragam tantangan, para tokoh tetap optimistis dengan prospek ekonomi Indonesia di tahun 2025. "Dengan pertumbuhan ekonomi yang diprediksi mencapai 5,2 persen dan inflasi yang terkendali, Indonesia mempunyai fondasi yang cukup kuat untuk terus berkembang," ujar Hendranata.
Namun, mereka juga mengingatkan bahwa pertumbuhan ini mesti diikuti dengan pemerataan yang lebih baik. "Kita perlu memastikan bahwa faedah pertumbuhan ekonomi ini mampudirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat," tegas Ahmad .
Pertemuan di Darmangsa ini tidak hanya mengupas tantangan yang dihadapi ekonomi Indonesia, tetapi juga memberikan gambaran solusi yang mampuditempuh.
Para tokoh sepakat bahwa diperlukan kerja sama yang erat antara pemerintah, pelaku usaha, lembaga keuangan, dan masyarakat untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Sebagai penutup, Burhanuddin Abdullahmengutarakan, "Ekonomi Indonesia 2025 memang menghadapi tantangan, tetapi juga menyimpan potensi besar. Dengan strategi yang tepat dan kerja sama semua pihak, kita mampumengubah tantangan ini menjadi kesempatan untuk kemajuan bangsa."
Pertemuan ini menjadi bukti bahwa di kembali angka-angka pertumbuhan ekonomi, ada obrolan mendalam dan pemikiran kritis dari para mahir untuk terus mendorong perbaikan ekonomi Indonesia.
Dengan semangat gotong royong dan inovasi, Indonesia diharapkan mampumenavigasi tantangan ekonomi 2025 dengan lebih baik, menuju masa depan yang lebih cerah dan sejahtera bagi seluruh rakyat.
*) Penulis adalah Wakil Rektor III IKOPIN University.
Copyright © BERITAJA 2025
anda berada diakhir artikel berita dengan judul: