Jangan Ciptakan Fobia Pada Teknologi - Beritaja
Jakarta (BERITAJA) - Menarik untuk dicermati, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifatul Choiri mengusulkan tugas sekolah tidak lagi diberikan oleh para pembimbing dengan gawai kepada para siswa, melainkan secara manual. Pemberian tugas oleh sekolah tidak hanya dikurangi lewat gawai alias telepon seluler, tapi kemudian dilarang.
Jadi yang disalahkan adalah perkembangan teknologi. Padahal, perubahan teknologi adalah sebuah keniscayaan yang tidak mampukita hindari. Kapanpun dan di manapun, kita bakal selalu menghadapi perkembangan teknologi yang begitu cepat.
Banyak contoh gimana kita begitu tergagap-gagap saat memesan jasa ojek daring, pada saat awal kemunculannya. Penumpang dan pengemudi ojek daring begitu ketakutan terhadap pengemudi ojek pangkalan. Tidak jarang, sejumlah pengemudi ojek pangkalan begitu mpetunjuk dan beringas, apalagi memukuli pengemudi ojek daring. Mereka tidak rela para penumpang memesan lewat aplikasi.
Kini, semua telah berubah, nyaris seluruh aspek kehidupan berangkaian dengan aktivitas daring. Bahkan, langkah memesan dan tren mengonsumsi makanan pun berubah. Kita mampumemesan lewat aplikasi, dan tidak lama kemudian makanan minuman tersaji di hadapan kita. Saat ini, teknologi sudah ada di genggaman kita, memudahkan memesan bilik hotel, tiket kendaraan umum, menonton movie di bioskop, menonton konser, apapun mampudilakukan secara daring. Ini mengakibatkan orang mager, namalain malas bergerak.
Namun, tidak jarang aktivitas daring mampumengecewakan. Rasa kecewa kadang muncul, saat peralatan yang dipesan tidak sesuai dengan angan kita. Itulah plus-minus pemesanan peralatan secara daring. Suatu kondisi yang begitu biasa pada abad ini.
Bijak teknologi
Apa yang diusulkan oleh Menteri PPPA ini bakal menciptakan “fobia” teknologi baru. Seolah-olah teknologi adalah sesuatu yang menakutkan dan perlu dihindari. Bukannya mengharapkan para siswa dan orang tua lebih bijak dalam penggunaan teknologi. Kita malah menciptakan suatu monster yang menakutkan bagi siswa. Penolakan ini mampumembuat kita malu di hadapan masyarakat internasional.
Sejatinya anak-anak dan orang tua mampudiimbau, alias pihak sekolah mampumembuat sistem yang berangkaian kebijakan pemakaian teknologi. Bisa saja berupa larangan mengakses konten di luar materi pembelajaran, alias agenda pemberian tugas dengan gawai yang diatur oleh sekolah. Jadi para siswa mengakses teknologi hanya untuk keperluan pengerjaan tugas.
Persoalan anak-anak memanfaatkan gawai untuk bermain alias mem-browsing konten yang tidak sepantasnya mampudihindari. Artinya bakal terlihat mana yang mengerjakan tugas dan mana yang tidak. Jadi sebuah perubahan teknologi tidak mesti dihindari. Lebih bijaklah dalam menggunakannya.
Perlu diakui, inovator teknologi ini adalah generasi kita, tapi yang lebih piawai memakainya adalah gen Z. Mereka adalah para digital native yang lebih akrabdengan bumi maya. Jadi berikanlah tugas yang memberikan kesempatan mereka mengakses konten positif dari gawai yang ada. Ini bakal lebih bijak dari pada melarang penggunaannya.
Kita mampumencontoh negara lain yang memberikan tugas dengan gawai dengan menetapkan patokan yang ketat. Pemerintah Italia memperbolehkan penggunaan gawai untuk penyandang disabilitas demi keberlangsungan pendidikan. Sementara pemerintah Swedia sempat menerapkan pendekatan pendidikan serba digital pada 2009, namun awal tahun ini Swedia kembali menggunakan kitab teks cetak di ruang kelas, alih-alih menerapkan pendekatan serba digitalnya.
Di negara tersebut terlihat pemerintah berupaya memfasilitasi siswa agar piawai memanfaatkan info di bumi maya dengan gawai mereka. Mereka diharapkan mampumemilih dan memilah info yang berfaedah dan dapat dipercayai. Situasi ini berbeda dengan di Indonesia, di mana para siswa tetap gagap, sehingga mereka condong lebih menikmati menggunakan gawai dari pada mendengarkan keterangan guru.
Agenda ke depan
Apa yang mampukita antisipasi untuk memperbaiki kondisi ini? Ada beberapa langkah yang mampukita lakukan. Pertama, menjadwalkan pemberian tugas pada jam belajar siswa dan pada saat mereka berada di sekolah. Waktu-waktu yang tertentu ini bakal mengakibatkan rutinitas dan teragendakan untuk mengonsumsi gawainya. Artinya, kontraproduktif penggunaan gawai ini mampudihindari. Penggunaan gawai seperlunya, hanya untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh pembimbing mampukita ciptakan.
Gawai bisa menjadi media yang betul-betul dimanfaatkan untuk kepentingan aktivitas belajar-mengajar. Sekali lagi, kita tidak perlu menghindari, tetapi lebih arif dan bijak dalam penggunaan gawai. Gawai diciptakan untuk mempermudah tugas alias pekerjaan manusia, bukan sekadar sarana bermain alias refreshing. Jika kita sudah mampumemanfaatkan teknologi telepon seluler, maka kita sudah mampumemasuki abad baru teknologi.
Kedua, para pembimbing perlu memberikan bingkisan bagi siswa yang mampumengerjakan tugas lewat telepon seluler. Penghargaan ini perlu difasilitasi sekolah, menyediakan anggaran unik sebagai bagian dari akomodasi belajar. Hal ini mampumerangsang kemauan siswa mengerjakan tugas dengan memanfaatkan teknologi. Hadiah tidak perlu berupa sesuatu yang konsumtif, mampusaja berupa kitab yang berisi pendalaman materi tugas yang diberikan sebelumnya.
Ketiga, kita sedang memasuki abad teknologi, lebih bijaklah dalam mengonsumsi teknologi itu. Sesuatu yang baru perlu kita pelajari dulu plus dan minusnya. Jika dimungkinkan, kita mampumenggali potensi diri lewat pemanfaatan teknologi. Memanfaatkan teknologi lebih berfaedah dari pada menghindari, alias apalagi menolaknya mentah-mentah. Jadi, lebih dewasalah beradaptasi dengan perkembangan jaman!
*) Yayan Sakti Suryandaru adalah pengajar di Departemen Komunikasi Massa Universitas Airlangga
Copyright © BERITAJA 2025
anda berada diakhir artikel berita dengan judul: