Jakarta (BERITAJA) - Dalam sepuluh tahun ke depan, lanskap ekonomi dunia bakal mengalami pergeseran fundamental, dipengaruhi oleh kekuatan teknologi, perubahan geopolitik, dan tekanan lingkungan.
Masa depan yang sedang melangkah ini, sejatinya tidak sepenuhnya misterius. Pola-pola yang dapat dilihat hari ini telah memberikan gambaran yang cukup jelas tentang petunjuk dunia.
Jika seseorangmampu membaca tanda-tanda ini dengan cermat, maka dia bakal dapat mempersiapkan diri untuk menjadi bagian dari perubahan itu, bukan sekadar penyaksi.
Salah satu tren terbesar yang tidakmampu diabaikan adalah transisi ke ekonomi hijau. Dengan semakin nyatanya akibat perubahan iklim, bumi mulai memahami bahwa keberlanjutan bukan lagi sekadar pilihan, melainkan kebutuhan.
Indonesia, juga sedang beranjak dari ekonomi berbasis ekstraktif menuju ekonomi hijau. Studi dari Greenpeace Indonesia menunjukkan bahwa peralihan ini dapat meningkatkan produk domestik bruto (PDB) dan menciptakan hingga 19,4 juta lapangan kerja baru di sektor-sektor, seperti daya terbarukan, pertanian berkelanjutan, dan kehutanan.
Kredit karbon, yang saat ini menjadi salah satu instrumen terkenal dalam mitigasi emisi, bakal memainkan peran yang lebih besar.
Negara-negara bakal berlomba-lomba mengangkat kebijakan pajak karbon yang ketat, mendorong perusahaan untuk berinvestasi dalam teknologi daya terbarukan.
Tidak hanya itu, semua bakal memandang lonjakan dalam mengambil daya hidrogen hijau, yang menawarkan potensi luar biasa untuk menggantikan bahan bakar fosil.
Meskipun demikian, transisi ini tidak datang tanpa tantangan. Negara-negara berkembang, seperti Indonesia, perlu menemukan keseimbangan antara memenuhi kebutuhan daya yang terus meningkat dan beranjak ke sumber daya yang lebih bersih.
Untuk itu, investasi dalam penemuan teknologi bakal menjadi kunci, berbareng dengan kerjasama lintas sektor.
Sementara itu, kekuasaan teknologi dalam perekonomian tidak hanya bakal bertahan, tetapi juga berkembang menjadi sesuatu yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
Kecerdasan buatan (AI), blockchain, dan apalagi komputer dengan sistem kuantum sedang dalam perjalanan untuk merevolusi industri.
Dalam waktu dekat, semua bakal memandang lebih banyak perusahaan menggantikan pekerjaan manusia dengan otomatisasi, tidak hanya di lini produksi, tetapi juga dalam kajian info dan pengambilan keputusan strategis.
Adopsi teknologi, seperti AI, blockchain, dan komputasi kuantum sejak awal memang diperkirakan bakal betul-betul mengubah wajah beragam industri.
Laporan dari "World Economic Forum" pada September 2024 menyoroti bahwa digitalisasi bakal menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi, meskipun juga menimbulkan tantangan, seperti ketimpangan digital dan kebutuhan bakal izin yang tepat.
Peluang baru
Perkembangan ini juga menampilkan adanya sisi gelap yang mengintai. Ketimpangan ekonomi dapat semakin melebar ketika pekerjaan tradisional semakin tersingkir, dan hanya mereka yang mempunyai keahlian tinggi yang bakal tetap relevan.
Di sisi lain, ini membuka kesempatan besar bagi pendidikan vokasional dan training ulang bagi tenaga kerja.
Negara yangmampu beradaptasi dengan sigap dalam menyiapkan tenaga kerjanya untuk menghadapi revolusi teknologi bakal berada di garis depan dalam perekonomian global.
Geopolitik juga tidak bakal diam, melainkan terus bergerak. Perubahan ini bakal mempengaruhi rantai pasok dunia yang saat ini sangat terintegrasi.
Ketegangan geopolitik dan pandemi telah mendorong banyak perusahaan untuk meninjau ulang rantai pasok mereka.
Laporan dari Bank Dunia pada Juni 2024 mencatat bahwa banyak perusahaan mempertimbangkan diversifikasi sumber dan lokalisasi produksi untuk meningkatkan ketahanan.
Ketegangan antara kekuatan-kekuatan besar, seperti Amerika Serikat dan China, telah memunculkan kejadian "friendshoring", di mana negara-negara memilih untuk mengalihkan produksi hanya ke wilayah-wilayah yang dianggap stabil dan terpercaya secara politik.
Langkah ini dapat menciptakan kesempatan baru bagi negara-negara, seperti Indonesia, yang berada di posisi strategis.
Hanya saja, ada tantangan yang mesti diatasi, termasuk memperkuat prasarana dan memastikan stabilitas kebijakan. Dengan investasi yang tepat, Indonesia berpotensi menjadi pusat manufaktur baru yang lebih terdiversifikasi.Selain itu, bumi juga bakal menyaksikan transformasi besar dalam langkah manusia berinteraksi dengan uang. Mata duit digital bank sentral (CBDC) diperkirakan bakal menggantikan duit tunai di banyak negara.
Dunia tanpa duit kertas mungkin terdengar seperti mimpi masa depan, tetapi keadaan memang sedang menuju ke sana.
Mata duit digital ini bakal membikin sistem pembayaran lebih efisien dan transparan, tetapi juga memunculkan tantangan baru, terutama mengenai privasi dan keamanan data.
Semua perubahan ini tidak bakal berfaedah tanpa mempertimbangkan komponen paling esensial dari ekonomi, ialah manusianya.
Perubahan demografi, khususnya di negara-negara maju, bakal menciptakan tantangan baru. Populasi yang menua bakal meningkatkan permintaan untuk jasa kesehatan dan teknologi berbasis komunitas.
Di sisi lain, negara-negara berkembang dengan populasi muda bakal menjadi penyedia tenaga kerja global.
Populasi yang menua di negara-negara maju dan bingkisan demografi di negara berkembang bakal mempengaruhi pasar tenaga kerja.
Laporan dari OECD pada 2019 menekankan perlunya kebijakan yang mendorong partisipasi angkatan kerja dan peningkatan keahlian untuk menghadapi tantangan ini.
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan populasi usia produktif yang besar, mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan "bonus demografi" ini.
Dalam konteks Indonesia, sebenarnya kebijakan pemerintahan Prabowo Subianto pun, seiring tekad mengejar pertumbuhan ekonomi 8 persen melalui replikasi rumus pemerintahan Orde Baru, ialah menggenjot investasi (tumbuh 4,9—14,6 persen per tahun), konsumsi rumah tangga (tumbuh 2,9—12,6 persen per tahun), dan ekspor (rata-rata tumbuh 9,7 persen per tahun).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga telah mengatakan bahwa Pemerintahan Prabowo bakal memakai rumus yang sama, ialah menjaga tingkat konsumsi sehinggamampu tumbuh 5-6 persen per tahun, mendorong investasi sehingga tumbuh di kisaran 10 persen per tahun, dan menggenjot ekspor sehingga tumbuh di kisaran 9 persen per tahun.
Untuk mewujudkan itu, pemerintahan Prabowo bakal konsentrasi ke tujuh sektor kunci, mencakup hilirisasi (manufaktur), sektor jasa, pariwisata, bangunan dan perumahan, ekonomi digital, pengembangan ekonomi baru, ialah semikonduktor dan transisi daya menuju daya hijau.
Potensi ini hanya dapat terwujud jika semua berfokus pada tekad yang sama. Dari sisi SDM, Indonesia, khususnya mesti dipetunjukkan untuk mendapatkan pendidikan dan training pada keahlian yang relevan dengan kebutuhan masa depan.
Di tengah semua ini, Indonesia mesti betul-betul siap lantaran bumi memang terus berputar, dimana ekonomi digital juga bakal terus berkembang. Industri metaverse dan virtual economy yang saat ini tetap dalam tahap awal bakal menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari.
Real estat digital, produk virtual, dan pengalaman augmented reality bakal menciptakan jenis ekonomi baru yang sepenuhnya berbeda dari yang sebelumnya pernah dikenal.
Tantangan terbesar bagi para pemimpin dan kreator kebijakan adalah gimana mengelola semua perubahan ini dengan langkah yang inklusif dan berkelanjutan.
Dunia tidak hanya memerlukan penemuan teknologi, tetapi juga pendekatan kebijakan yang berpusat pada manusia.
Semua orang memerlukan sistem yang tidak hanya memacu pertumbuhan, tetapi juga memastikan bahwa manfaatnya dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.
Dalam menghadapi semua ini, krusial bagi setiap individu, organisasi, dan pemerintah untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga beradaptasi dan berkembang.
Dunia yang sedang berubah menawarkan peluang, tidak terbatas bagi mereka yang siap, dan bagi mereka yang tidak, bumi bakal terus bergerak maju tanpa menunggu.
Copyright © BERITAJA 2024