Jakarta (BERITAJA.COM) - Organisasi non-profit Aliansi Global untuk Alternatif Insinerator (GAIA) Asia Pasifik memandang teknologi insinerator sampah menghasilkan emisi lebih besar dibandingkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Bersih GAIA Asia Pasifik Yobel Novian Putra mengatakan sampah nan terbuat dari jumputan padat alias refuse derived ruel (RDF) melepaskan emisi gas rumah kaca di atas 1,5 kilogram setara karbon dioksida per kilowatt hour (kWh), sedangkan batu bara sekitar satu kilogram setara karbon dioksida per kWh.
"Emisi insinerator sampah lebih besar dari batu bara lantaran karbon dari makanan, sampah basah, dan kayu, itu ikut terbakar," ujarnya dalam sebuah obrolan berjudul Towards Zero Waste to Zero Emission nan digelar di Bakoel Coffee, Cikini, Jakarta Pusat, Senin.
Yobel menuturkan alam tidak merancang sampah untuk menjadi bahan bakar lantaran nilai kalori nan dihasilkan lebih rendah daripada kalori bahan bakar fosil, sehingga memerlukan daya tambahan dari batu bara sampai minyak bumi untuk membakar jumputan sampah tersebut.
Selain banyak melepaskan emisi, imbuhnya, insinerator sampah juga menghasilkan biaya operasional 25 persen lebih mahal dibandingkan PLTU batu bara.
Biaya operasional insinerator sampah sekitar 140 dolar AS per megawatt hour, sedangkan biaya operasional PLTU batu bara sekitar 115 dolar AS per megawatt hour.
"Insinerator sampah adalah langkah paling mahal untuk menangani sampah," kata Yobel.
Berdasarkan info dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, jumlah insinerator sampah di Indonesia saat ini ada sebanyak sembilan unit nan tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, dan Papua.
Insinerator digunakan untuk rentang nan sangat luas sebagai pengolahan limbah guna mengurangi sampah nan menumpuk di tempat pemrosesan akhir alias TPA. Teknologi itu secara umum untuk pembakaran oksidatif penuh dengan kisaran suhu 850 derajat Celcius sampai 1.400 derajat Celcius.
Direktur Eksekutif Yayasan Pengelolaan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) Bandung David Sutasurya menyarankan agar pemerintah memperhitungkan perspektif jangka panjang mengenai teknologi insinerator sampah agar Indonesia tidak masuk ke dalam perangkap pembiayaan operasional nan memerlukan biaya besar.
Menurutnya, konsep pengelolaan sampah berbasis zero waste melalui pemilahan dan daur ulang justru paling efektif untuk menangani sampah di Indonesia lantaran rendah karbon dan juga rendah biaya.
"Pengelolaan sampah dengan konsep zero waste menawarkan total biaya nan signifikan lebih rendah dibandingkan dengan skenario insinerator," kata David.
Berita lain dengan Judul: Konsep "zero waste" jadi solusi paling realistis untuk tangani sampah
Berita lain dengan Judul: KLHK sorong pengoptimalan insinerator TPA Warloka di Manggarai Barat
Berita lain dengan Judul: LIPI kembangkan teknologi insinerator olah sampah medis skala kecil
Nurul Hayat
COPYRIGHT © BERITAJA.COM 2023