Trending

Gen Z Cari Pengalaman Lokal Dengan Berkunjung Ke Desa Wisata - Beritaja

Sedang Trending 1 minggu yang lalu

Jakarta (BERITAJA) - Pengamat pariwisata dari Universitas Andalas Sari Lenggogeni menyebut bahwa saat ini para visitor terutama yang berasal dari kalangan generasi Z lebih doyan mencari pengalaman lokal yang dianggap menyenangkan di desa wisata.

Sari, saat dihubungi BERITAJA di Jakarta, Rabu, mengutip survei yang dilakukan sebuah platform pemesanan hotel, menyebut Gen Z mencari lokasi wisata yang mengangkat konsep berkepanjangan dan pengalaman lokal, yang kerap ditawarkan desa wisata.

Sari menekankan saat ini gen Z mempunyai kesukaan untuk menjadi bagian dari sebuah budaya lokal. Misalnya, mulai dari tempat penginapan yang tradisional, menggunakan sepeda yang dipakai penduduk sehari-hari, dan jenis kebiasaan lainnya.

Baca juga: Survei: Wisatawan Gen Z dan milenial berpiknik untuk hilangkan stres

Gen Z, katanya, juga doyan datang ke destinasi seperti desa wisata yang dianggapnya tertata, mempunyai perkumpulan (komunal) yang spesifik.

“Misalnya apakah komunal dapur, ruang tamu komunal, macam-macam ya. Itu mampudiciptakan sehingga orang merasa ada interaksinya tinggi, ada kebersamaan di sana, ini yang mesti dibuat atraksi-atraksi inovatif ini dan kesiapan kebersihan serta tata kelolanya, tata letak infrastruktur, tata kelola,” kata Sari.

Menurut Sari, minat yang besar tersebut tidak boleh mengakibatkan pengelola desa wisata melupakan prinsip lokal. Semua pihak yang terlibat diharapkan tetap menjunjung tinggi nilai, kepercayaan serta aturan-aturan yang ada untuk diikuti oleh para wisatawan.

“Misalnya tata ruangnya seperti di Bali juga ada kan ada asas-asas, itu prinsip dalam membangun suatu daerah, di Toba pun juga seperti itu. Ini yang mesti dijaga. Ini mesti dikawal berbareng secara bottom up dan top down,” ujar dia.

Hal lain yang juga dicari oleh visitor dari kalangan Gen Z adalah pengalaman slow living (hidup dalam laju lambat) yang dianggap menenangkan. Para visitor menganggap bahwa slow living yang otentik datang dari nilai-nilai yang diterapkan oleh desa wisata itu sendiri.

Baca juga: Begini kata aktris muda soal "slow living" yang banyak dipilih pemuda

Biasanya visitor yang mau melakukan slow living bakal menghabiskan waktu sekitar tujuh hari alias lebih untuk menetap menikmati kebudayaan dan keseharian penduduk lokal di satu tempat. Berbeda dengan fast tourism (berwisata dalam waktu kunjung singkat) yang hanya menghabiskan waktu selama tiga alias empat hari.

Oleh lantaran itu, Sari berambisi Kementerian Pariwisata dapat memperhatikan kluster desa wisata dan menentukan mana desa yang mesti dijadikan prioritas, termasuk desa-desa yang sudah mendapatkan penghargaan internasional.

Langkah tersebut dinilai dapat mendorong visitor untuk melakukan kunjungan ulang,sehingga pertumbuhan ekonomi terutama dari sektor pariwisata dapat dijaga.

“Jadi, mesti dijaga, kesiapan destinasi mesti siap, ini yang mesti jadi konsentrasi Kementerian Pariwisata. Misalnya berapa yang kemarin dapat penghargaan ASEAN Awards, itu mesti segera jadi perhatian lantaran itu mampudikurasikan seperti apa wisatanya, mampujadi bench marking alias edukasi,” ucap Sari.

Baca juga: Menempa Gen Z menuju Indonesia Emas

Baca juga: Menpar laporkan kenaikan kunjungan wisata dalam periode 100 hari kerja

Baca juga: Pusat edukasi hiu paus resmi dibuka di Teluk Saleh


Editor: Dedy
Copyright © BERITAJA 2025



Atribusi: AntaraNews.com




Silakan baca konten menarik lainnya dari Beritaja.com di Google News dan Whatsapp Channel!